Tuesday, May 8, 2007

Retorika Memacu Investasi

Faisal Basri
Indonesia pernah menjadi salah satu tujuan investasi terkemuka, khususnya di antara negara-negara berkembang. Daya pikat yang kita miliki kala itu ialah upah buruh murah, kekayaan sumber daya alam, perlindungan terhadap pasar domestik, dan kestabilan politik. Tak heran kalau bidang-bidang usaha yang paling banyak digeluti investor adalah yang padat karya, padat sumber daya alam, dan industri substitusi impor.
Hampir semua daya pikat itu kini sudah kian terkikis, sementara sumber pemikat yang baru belum mengedepan. Jika memang kenyataannya demikian, paling tidak perlu ada kemasan baru ataupun revitalisasi atas sumber-sumber pemikat yang pernah kita miliki. Kita tak bisa lagi bicara buruh murah, melainkan pekerja yang produktif dan berdisiplin tinggi. Kita tak mungkin lagi sekadar menggembar-gemborkan kemelimpahan sumber daya alam, melainkan bagaimana sumber daya alam tersebut bisa menjadi "feedstocks" bagi pengembangan industri-industri manufaktur di hilir sehingga mampu meningkatkan nilai tambah secara berarti. Kita tak boleh lagi merindukan otoritarianisme atau pendekatan "tangan besi" untuk menjamin stabilitas, melainkan pemerintahan yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi hakikinya.
Revitalisasi dan kemasan baru tak cukup dengan melakukan muhibah ke berbagai negara yang kelebihan modal sebagaimana kerap dilakukan presiden, wakil presiden, dan para menteri. Dalam lawatannya ke Timur Tengah, Presiden berjanji menggelar karpet merah bagi investor yang akan datang ke Indonesia. Segudang janji telah pula dilontarkan dalam lawatan-lawatan petinggi negara ke China, Jepang, dan Amerika Serikat. Dengan negara jiran Singapura dan Malaysia, tak terbilang jumlah saling kunjungan. Puluhan nota kesepahaman telah ditandatangani.
Minggu lalu di Singapura kembali Presiden merayu pebisnis untuk berinvestasi di Indonesia. Presiden meyakinkan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat untuk terus melakukan upaya maksimal memperbaiki iklim investasi yang selama ini dipandang tak kondusif dan banyak hambatan. Perbaikan yang dijanjikan sangat komprehensif, meliputi regulasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti aturan perpajakan dan kepabeanan, kepastian penegakan hukum, perbaikan infrastruktur, peningkatan stabilitas politik dan praktik demokrasi, sistem perburuhan, reformasi birokrasi, serta pemberantasan korupsi (Kompas, 5 September 2006, halaman 1).
Luar biasa janji Presiden kepada para pebisnis mancanegara peserta konferensi ekonomi internasional "Forbes Global CEO" hari Senin minggu lalu itu. Substansinya menyentuh masalah mendasar yang sudah lama tak tersentuh, serta tekad untuk menyelesaikannya secara sungguh-sungguh dan menyeluruh.
Namun, dengan kasatmata kita menyaksikan hal yang sebaliknya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanaman Modal tak jelas kapan akan dituntaskan. Nasib serupa dialami RUU Perpajakan. Petinggi negara tampaknya lebih sigap dalam berunding di kancah internasional ketimbang melakukan pendekatan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meyakinkan betapa pentingnya kedua RUU tersebut untuk mendongkrak investasi bagi percepatan pertumbuhan ekonomi, sehingga bisa lebih ampuh dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran. Bukankah Presiden dan Wakil Presiden bisa dengan mudah memerintahkan anggota DPR dari partainya masing-masing menjadi ujung tombak penyelesaian RUU tersebut?
Pemerintah lebih sigap mengurusi masalah internasional ketimbang menekuni persoalan domestik. Misalnya menyelesaikan masalah yang mengganjal terkait pelaksanaan Inpres No 3 Tahun 2006 tentang Iklim Investasi. Betapa cepatnya proses pembelian panser untuk pasukan kita yang dikirim untuk misi perdamaian ke Lebanon ketimbang merealisasikan bantuan bagi korban gempa di Yogyakarta yang sudah secara eksplisit dijanjikan pemerintah. Padahal, bantuan itu setidaknya secara moral niscaya akan sangat berarti untuk mempercepat pemulihan roda ekonomi nasional.
Masyarakat internasional juga tentu dengan mudah berkesimpulan bahwa pemerintah kerap lamban menyelesaikan masalah yang ada di depan mata, seperti penanggulangan lumpur panas Sidoarjo dan kebakaran hutan yang sudah menjadi ritual tahunan memalukan, terutama di mata negara tetangga yang jadi korbannya. Pemerintah juga terkesan mengambangkan penyelesaian masalah perburuhan.
Ada pula sejumlah tarik-menarik kepentingan yang kasatmata dalam sejumlah proyek pembangunan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal-hal demikian tak pelak lagi membuat investor tetap ragu untuk menanamkan modalnya di proyek-proyek berjangka panjang. Saratnya tarik-menarik kepentingan membuat beberapa keputusan atau kebijakan dengan mudah dianulir atau digantikan dengan keputusan atau kebijakan baru. Bahkan terkadang cuma sebatas keputusan lisan yang tak kunjung diperkuat keputusan formal tertulis. Keputusan seperti itu niscaya kurang dilandasi kajian yang bisa dipertanggungjawabkan dan niscaya pula prosesnya remang-remang atau tidak transparan. Juga berpotensi menabrak aturan lain yang sejajar ataupun di atasnya sehingga memperburuk iklim investasi itu sendiri.
Faktor-faktor itulah yang tampaknya membuat berbagai kebijakan—yang sudah cukup banyak dikeluarkan pemerintah—tak bisa diterapkan secara efektif. Benar adanya bahwa "the devil is in the detail".
Tak mengejutkan kalau hasil survei oleh Bank Dunia dan International Finance Corporation hanya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Jika dibandingkan posisi Indonesia 131 tahun lalu, berarti perbaikan yang dilakukan masih belum memadai dibandingkan pembenahan yang terjadi di negara lain, terutama pesaing dekat kita.
Hasil survei ini sejalan dengan persepsi perusahaan Jepang yang beroperasi di luar negeri sebagaimana laporan Jetro. Di mata perusahaan Jepang, berusaha di Indonesia kian tidak menjanjikan dalam jangka menengah (tiga tahun ke depan atau lebih). Dalam tiga tahun terakhir posisi Indonesia terus merosot, dari peringkat keempat pada tahun 2002 menjadi peringkat kedelapan pada tahun 2005. Padahal, pada tahun 1997 posisi kita masih cukup terhormat, peringkat ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Kini bahkan kita sudah tertinggal dibandingkan dengan India, Vietnam, Rusia, dan Thailand.
Janji-janji menggiurkan tak lagi mempan untuk mengundang mereka ke sini. Lebih celaka lagi kalau yang kita rayu tak datang, yang sudah berjibaku di sini satu demi satu bertumbangan atau hengkang ke luar negeri. Tampaknya kita masih harus lebih saksama berbenah diri sebelum berpromosi.

FSP BUMN BERSATU said Kiani Case is Not Corruption

Mandiri workers protest prosecution
JAKARTA: More than 150 workers from state enterprises staged a demonstration Wednesday at the Attorney General's Office (AGO) to protest the naming of Bank Mandiri former executives as suspects in an alleged irregular loan to a paper mill.
The three executives have been accused of granting an irregular US$200 million loan in 2003 PT Kiani Kertas paper mill in East Kalimantan.
But the Legal Aid Institute for State Enterprises said the suspects could not be prosecuted because the decision to finance Kiani was made in compliance with the laws on state enterprises and limited companies.
The AGO last week named Bank Mandiri former president director ECW Neloe, former vice president director I Wayan Pugeg and former director for corporate banking Soleh Tasripan as suspects for alleged graft in approving the loan.
The workers said the case has raised unrest among executives and workers in state-owned enterprises.
In addition, they indicated the AGO was not totally professional in its war on corruption.
Chairman of the Federation of United Workers Unions in State Enterprises-Unite (FSP BUMN Bersatu), Arief Poyuono, accused the government of politicizing the case in its attempt to send the three to jail.
FSP BUMN Bersatu said in accusing the executives the government had failed to realize the impacts the case would have on bank staff, the real sector or the country's prolonged economic crisis.
"If AGO finds irregularities in the transaction, the bank's new management (should come under scrutiny)," said Arief.
The former executives' actions and their overall accountability was accepted by the bank's new management at a shareholder meeting in 2004, he said. -- JP

THEY called it 'Project Indosat'

JAKARTA - THEY called it 'Project Indosat'.

This referred to a two-phase plan for a public relations offensive to discredit Singapore's ST Telemedia and pressure it into giving up its prized stake in Indonesia's telecommunications company Indosat.

ST Telemedia 's majority-owned investment vehicle Asia Mobile holds a stake of about 42 per cent in Indosat, making it the single largest shareholder in Indonesia 's No. 2 mobile phone operator.

Evidence of this plan comes in the form of a copy of slides said to be from an internal presentation made by executives working on the Indosat buyout bid, obtained by The Straits Times.

The executives were said to be the staff of Altimo, the telecoms arm of Russian conglomerate Alfa Group, one of Russia's largest companies with diverse holdings in sectors including oil and gas, financial services, retail and commodity trading.

Altimo set up an office in Jakarta in December, saying that it intended to invest up to US$2 billion (S$3 billion) in the local mobile telecoms market. In January, a spokesman said Altimo was aiming for a controlling stake in one of the top three local mobile phone operators, but did not name a target.

The Project Indosat slides showed a budget of US$126,000 for the smear campaign.

This was to be done through the media in reports or commentaries, either by highlighting any signs of Indosat's poor performance since ST Telemedia's involvement or by stoking nationalist sentiments opposed to the foreign ownership of Indonesian companies.

Getting the nationalists fired up would not be too difficult.

ST Telemedia 's controlling stake in Indosat has always been a source of unhappiness among the nationalist crowd who believe that companies in strategic sectors, such as telecoms, should be in local hands.

Indeed, when ST Telemedia bought into Indosat in 2002, the deal was greeted by street protests and populist political opposition.

In late 2005 and early last year, the government also made an attempt - later aborted - to regain control of the company.

According to the documents, Phase Two of Project Indosat would kick in after ST Telemedia decides to divest - either in the face of the public relations onslaught, or if a suitable reason could be found to legally force it to do so.

It would involve either Altimo buying out ST Telemedia directly or via a roundabout arrangement with the government.

The second option, thought to be more in line with populist Indonesian public opinion on foreign ownership, would see ST Telemedia's shares being 'nationalised' first before being handed over to Altimo.

The planned government buyback would be funded by Altimo, claimed the document. It said the Russian company would get about 27 per cent of the shares in return for its role and would eventually be allowed to buy up more than half of Indosat.

And, if this plan were to succeed, a sum of US$40 million had allegedly been promised to those involved, including some top government officials and aides.

Alfa's interest in Indonesia's potentially lucrative telecoms sector is no secret.

Sources from both Altimo and ST Telemedia confirm that the Russian group approached Temasek directly to discuss a possible deal last year, but was told to approach ST Telemedia instead.

It did, and was rebuffed.

When contacted, Altimo's representative in Indonesia, Mr Soeharto, would not confirm if the overture was made.

But he insisted that it would not resort to the kind of underhand tactics that the company is being accused of.

'We're always looking for investment opportunities and Indosat is certainly a possibility.

'But we would not do anything illegal,' he said.

Word on Project Indosat has been making the rounds in Indonesia in recent weeks - but the stories are always told in parts, never in whole. No one can say for sure who is behind the latest expose.

Allegations that officials and lawmakers had been induced to pressure ST Telemedia into giving up its stake have been made by a local non-government business think-tank, the Institute for Analysis of Information and Technology Businesses (IA-ITB).

It alleged that some legislators were paid to press Indonesian competition watchdog KPPU to go ahead with investigations into anti-competition complaints against Temasek.

The complaints against Temasek were filed last October by the Federation of State-Owned Enterprises Employees' Union (FSP) .

IA-ITB coordinator Musarman told The Straits Times: 'That is why they'll press on with the investigations even though the FSP has withdrawn their complaints.'

FSP BUMN Bersatu withdrew its complaints on April 2. At that time, its president Arief Poyuono had said that it had a weak case and could not prove that Temasek had violated anti-monopoly law.

More recently, he disclosed to The Straits Times that the move was made because he had heard about Altimo's alleged plans and did not want to be made use of.

He asked: 'What is the point of buying back Indosat only to give it away to another foreign company?'

Dirty tricks plan against ST Telemedia alleged

Straits Times
English
(c) 2007 Singapore Press Holdings Limited

Jakarta - Russian group deny bid to wrest Indosat from STT control

JAKARTA - AN ALLEGED 'dirty tricks' campaign to oust Temasek-owned ST Telemedia from its controlling stake in Indonesian telecommunications company Indosat has Jakarta abuzz, with several top leaders coming out to deny their involvement.

Details of the plan have emerged from several sources over the past two weeks, with Indonesian newspaper Koran Tempo naming Russian conglomerate Alfa Group as the main mover.

The group is said to be interested in the 42 per cent stake in Indosat held by ST Telemedia's majority-owned Asia Mobile. It is alleged to have aggressively courted high-level government and political leaders.

Allegations have been made of large sums of money exchanging hands and the promise of more money after the planned ouster succeeds.

Yesterday's Koran Tempo quoted State Minister for State-owned Enterprises Sugiharto denying that he had met Altimo, Alfa's telco arm, to discuss plans to oust ST Telemedia from Indosat.

He told the paper: 'I've not been to Russia and have not spoken to the Russians...I've already said I'll leave it to market forces.'

Mr Sugiharto's office had been named as a facilitator of the plan to oust ST Telemedia.

Documents obtained by The Straits Times, which are believed to be copies of an internal presentation by executives of the Russian company, also indicated that other top government leaders were involved in the plan.

Similar documents were cited in an earlier report, filed last November by Russian newspaper Tribuna, which referred to an internal document belonging to Alfa named 'Project Indosat'.

The report said that the documents mapped out a multi-pronged plan to oust ST Telemedia from Indosat by roping in Indonesian politicians and bureaucrats.

In recent weeks, new information from Indonesian sources has emerged, giving details of the implementation of those plans.

On Monday, a local non-government business think-tank, the Institute for Analysis of Information and Technology Businesses (IA-ITB), issued a press release on the alleged plan.

It claimed that several Indonesian lawmakers have received Rp10 billion (S$1.7 million) each to lobby for Indonesia's competition watchdog, KPPU, to press ahead with investigations into complaints against Temasek for alleged monopolistic practices in the local cellphone market.

The complaints against Temasek were filed last October by the Federation of State-Owned Enterprises Employees' Union (FSP). The union had said that Temasek violated Indonesia's anti-monopoly law by dominating the market and had practised price-fixing.

Besides ST Telemedia's shares in Indosat, Temasek also has stake in Telkomsel, the country's biggest operator, through SingTel's 35 per cent ownership of the company.

IA-ITB also made public the transcript of a parliamentary hearing on March 20 in which some legislators had lobbied KPPU officials for its investigations to continue.

KPPU head Mohamed Iqbal has denied the IA-ITB allegations.

Sources in the Indonesian government told The Straits Times that the leadership is aware of the alleged 'Project Indosat' and insisted that the plan does not have the support of the top politicians and officials alluded to in the leaked document.

Altimo's representative in Indonesia, Mr Soeharto, has also denied that the company would resort to such dirty tactics.

'We're always looking for investment opportunities and Indosat is certainly a possibility,' he told The Straits Times.

'But we wouldn't do anything unethical.'

Reacting to these developments, ST Telemedia said it viewed with grave concern the fresh allegations.

'ST Telemedia cannot explain the continuous media pressure mounted on us in the past few months, which had also resulted in frivolous and unsubstantiated accusations.

'Should there be any truth in the Koran Tempo report, we will be deeply disappointed. More importantly, the reported actions will severely diminish and erode investor confidence in the country.'

Tantangan SBY dalam peyelesaian perburuhan

BURUH dan investor adalah dua sisi berlawanan dari keping pembangunan ekonomi. Kendati berseberangan, kedua pihak ini saling membutuhkan, karena yang satu tak mungkin hadir tanpa yang lain. Persoalan yang harus dipecahkan adalah bagaimana membuat keduanya berdampingan dan merasa sama-sama diuntungkan.Persoalan ini yang sekarang bergayut di bahu Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono. Mulanya para pengusaha r-a-mai mengeluhkan peraturan tenaga kerja di Indonesia yang katanya membuat ne-geri ini tak menarik di mata in-ves-tor. Keluh-an itu pun segera ditanggapi pemerintah, dan Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja pun sibuk membuat rancangan revisi Undang-Undang Ketenaga-kerjaan.Tanggapnya pemerintah atas kel-uhan ini sudah benar. Sebab, tanpa masuknya investasi, pertumbuhan ekonomi akan mandek, penyerap-an tenaga kerja baru terhenti, dan tingkat pengangguran pun akan melambung. Namun, sayangnya, cara me-revisi ku-rang pas sehingga di mata buruh upaya ini terkesan menjadi ancaman. Walhasil, ribuan buruh turun ke jalan untuk menentangnya.Penentangan buruh ini juga ada benarnya. Upaya penghapusan hak pesangon untuk buruh yang upahnya di atas Rp 1,1 juta sebulan, misalnya, jelas sangat merugikan kaum pekerja. Namun, jika ketentuan besarnya pesangon yang akan direvisi, seharusnya hal itu dapat dirundingkan, karena dapat dibandingkan dengan yang berlaku di negara lain, terutama yang menjadi pesaing Indonesia.Perbandingan ini pun harus dilakukan secara total dan tak semata pada besaran upah. Soalnya, di beberapa ne-gara mungkin pesangonnya lebih kecil namun pemerintahnya memberikan tunjangan bagi para penganggur. Di Swe-dia, misalnya, tak ada pesangon tapi jaminan kesehatan dan pendidikan diberikan oleh pemerintah nyaris secara cuma-cuma. Para penganggur juga tak perlu khawatir kelaparan selama masa pencarian kerja baru, karena pemerintah memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.Di Indonesia keadaan justru sebaliknya. Hampir tak ada dana dari pemerintah untuk membantu kaum miskin dan penganggur. Akibatnya, tunjangan kepada yang terkena pemutusan hubungan kerja dibebankan ke perusaha-an dalam bentuk pesangon. Ini mungkin tak jadi soal jika perusahaan sedang untung besar, tapi menjadi beban yang tak tertahankan pada masa sulit. Karena siklus untung dan rugi merupakan keniscayaan dalam kegiatan niaga, kebijakan pemerintah se-perti ini membuat ekonomi sulit bangkit kembali setelah tersungkur karena gempuran persaingan global.Dalam kerangka berpikir sepe-rti ini, jelaslah terlihat bahwa seng-keta anta-ra buruh dan investor tak dapat disele-sai-kan hanya dengan mem-bawa ke-dua pihak ke meja perundingan. Pada akhir-nya pemerintah harus menjalan-kan fungsi seperti sistem peredam kejut pada kendaraan yang melaju di atas jalan bergelombang. Gonjang-ganjing perekonomian dunia yang dahsyat sepatutnya diserap pemerintah, sehingga gejolak yang terjadi masih berada dalam batas aman. Sebagian pendapat-an pajak perusahaan yang diraih ketika ekonomi melambung tinggi perlu disimpan untuk membantu kaum miskin dan penganggur tatkala ekonomi sedang ambruk. Dengan demikian, pada masa sulit para pengusaha dapat melakukan berbagai upaya perampingan dan efisiensi tanpa mengakibatkan guncangan sosial ekonomi yang berlebihan.Harus diakui, upaya seperti ini tentu butuh ongkos. Tapi keuntungan yang diraih dari upaya stabilisasi seperti ini bia-sanya jauh lebih tinggi ketimbang biaya yang dikeluar-kan. Buktinya, pemerintah bersedia menganggarkan belasan tri-liun rupiah setiap tahun untuk menjaga stabilitas moneter. Jika pemerintah rela membelanjakan begitu banyak uang yang sebagian besar bermuara menjadi keuntungan para pemilik bank dan pemegang deposito atau surat berharga lainnya, mengapa tak disediakan juga dana stabilisasi untuk menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi nasional?Pilihan ini seharusnya diambil Presiden Yudhoyono un-tuk menyelesaikan kemelut buruh versus pengusaha. Pe-merintah tak boleh lepas tangan dan berdalih bahwa mekanisme pasar bebas akan menghasilkan solusi terbaik. Se-bab, ini berarti pemerintah sama tak bertanggungja-wabnya seperti Kapten Lemuel Gulliver dalam lakon klasik karya Jonathan Swift pada awal abad ke-18. Gulliver yang tiba-tiba terkait dengan perseteruan bangsa Liliput lawan puak Blefuscu itu ternyata lebih tertarik melarikan diri ketimbang mendamaikan mereka.Kita harus yakin bahwa Presiden Yudhoyono jauh lebih baik ketimbang Gulliver.

Ada Konspirasi di Balik Buy Back Indosat

Belum kelar kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap keberadaan Temasek di Indosat. Tiba-tiba muncul dugaan adanya konspirasi di balik buy back saham Temasek di Indosat.
Isu konspirasi ini bisa dikatakan cukup menghebohkan. Selain diduga melibatkan pejabat KPPU, juga diduga melibatkan pejabat di Kementerian Negara BUMN dan bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Munculnya dugaan konspirasi ini bermula dari dua lembar faksimili yang diterima Hukumonline akhir pekan lalu. Press release bertajuk ‘Konspirasi Perusahaan di Balik Isu Buy Back Indosat’ itu memaparkan secara gamblang sebuah konspirasi yang disponsori perusahaan asal Rusia, Altimo-Alfa Group—dalam skenario buy back Indosat.
“Setelah diselidiki, ternyata ada kepentingan kelompok usaha asal Rusia yaitu Altimo-AlfaGroup yang mendalangi gencarnya tuntutan buy back tersebut. Altimo-AlfaGroup mencoba menunggangi isu buy back Indosat untuk mengambil keuntungan bisnis mereka,” demikian petikan press release yang ditandatangani Musarman, Koordinator Institute for Analysis of Information and Technologies Business (IA-ITB).
Dalam press release itu disebutkan bahwa Altimo-AlfaGroup adalah bagian dari Alfa Group, sebuah konglomerat raksasa di Rusia. Altimo-Alfa menyediakan tak kurang AS$ 2 miliar untuk membeli saham Indosat. Dengan dana AS$ 2 miliar ini pemerintah akan membeli 41,9 persen saham Temasek di Indosat.
Rencananya, saham tersebut akan dibagi dua. Pemerintah akan mendapat 15 persen, dan Altimo-AlfaGroup mendapat 26,9 persen. Namun, saham senilai 15 persen ‘hadiah’ dari Altimo-AlfaGroup tersebut bukanlah gratis. Pemerintah harus membayar kembali melalui dividen yang didapat.
“Cara ini yang dilakukan Altimo-Alfa untuk mengambil alih saham-saham telekomunikasi di negara dunia ketiga. Dan, Altimo hendak menjadikan Indosat sebagai tempat pencucian uang (money laundering) hasil aktivitas bisnis ilegal mereka di Rusia,” demikian stateman lain press release itu.
Saat ini ditengarai perwakilan Altimo-Alfa di Jakarta tengah sibuk melakukan lobi untuk memuluskan rencana Altimo-Alfa membeli saham Indosat. Lobi itu ternyata juga didukung dengan kekuatan finansial.
Dalam press release itu dipaparkan bahwa dana Rp 10 miliar siap digelontorkan untuk setiap anggota DPR yang berhasil di lobi. Selain itu, pimpinan dan anggota KPPU juga menjadi target untuk memuluskan rencana Altimo tersebut. Kompensasi sebesar Rp 5 miliar untuk urusan lobi ini diyakini telah disiapkan.
Yang tak kalah menarik, lembaga INDEF disebut dalam press release itu diduga telah dibayar Altimo sebesar Rp 3 miliar. Dana sebesar itu dipakai untuk membuat kajian mengenai monopoli Temasek. Kajian ini akan dijadikan bukti pada pengadilan di KPPU nantinya
Bukan Isapan Jempol?
Belum jelas kebenaran dari isi press release itu. Musarman yang menandatangani press release bak ditelan bumi. Dihubungi sejak Senin (30/4) hingga berita ini diturunkan, telepon selulernya selalu bernada sibuk. Demikian juga dengan Suharto—seseorang yang disebut dalam press release itu sebagai perwakilan Altimo-Alfa di Jakarta—telepon selulernya selalu dalam posisi OFF.
Meski belum jelas, isu adanya perusahaan Rusia yang hendak membeli saham Temasek di Indosat telah bergulir cepat. Apalagi, sinyal keinginan perusahaan Rusia ini yang ingin menancapkan bisnisnya di industri telekomunikasi Indonesia telah lama dilontarkan. Boleh jadi, ini bukan isapan jempol semata.
“Kami menyadari tidak banyak investor asal Rusia yang menanamkan modalnya di Indonesia, tetapi bagaimanapun harus ada yang memulai,” kata Kirill Babaev, salah seorang Vice President ALTIMO, dalam kesempatan jumpa pers di Jakarta pada penghujung tahun lalu.
Kirill tidak memungkiri bahwa keputusan ALTIMO untuk melakukan investasi di Indonesia merupakan ‘buah’ positif dari kunjungan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono awal Desember lalu ke negeri Beruang Merah itu. Selain itu, ALTIMO juga melihat ada potensi pasar yang cukup besar pada bisnis telekomunikasi Indonesia.
Andrei Zemnitsky, Vice President ALTIMO, mengatakan ALTIMO sudah membidik beberapa perusahaan telekomunikasi Indonesia. Investasi akan dilakukan pada tahun 2007 dengan membeli 20 persen hingga 30 persen saham perusahaan telekomunikasi.
Dia mengisyaratkan pilihan ALTIMO tidak akan beranjak pada tiga perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini, yakni Indosat, Telkomsel, dan Excelcomindo. Dana segar yang disediakan pun tidak tanggung-tanggung, 2 milyar dollar AS yang akan dikonversikan dalam bentuk kepemilikan saham di beberapa perusahaan telekomunikasi nasional.
Sinyal ini diperkuat dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan menyatakan, pemerintah ingin membeli kembali saham Indosat. Tak hanya itu, sejumlah kalangan di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah terus berupaya menggalang dukungan untuk mendorong rencana tersebut.
Bahkan, ada dugaan pemerintah Indonesia telah mengadakan serangkaian pertemuan dengan Altimo, anak perusahaan Alfa Group. Berdasarkan dokumen yang ada, pertemuan itu digelar di Jakarta, Moskow, dan Dubai. Pemerintah diwakili Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto dan timnya. Dokumen internal Altimo itu berisi poin-poin yang mesti disampaikan oleh perwakilan Altimo di Jakarta kepada Wakil Presiden dan Menteri Negara BUMN.
Ramai-ramai Klarifikasi
Tentu saja, yang paling tersodok adanya isu di atas terutama soal ‘biaya lobi’ adalah Didik J Rachbini. Ketua Komisi VI—yang disebut dalam press release yang berhasil dilobi pihak Altimo-AlfaGroup--ini menandaskan bahwa itu bisa dikategorikan sebagai contempt of parliament. “Kalau perlu kita akan memanggil Musarman dan pihak terkait lainnya. Biar masalah ini kelar,” jawabnya melalui pesan singkatnya (SMS).
Jawaban hampir senada disampaikan oleh anggota Komisi VI lainnya, yakni Fachri Hamzah (Fraksi PKS), dan Nusron Wahid (Fraksi Partai Golkar). Keduanya, juga disebut dalam press release itu yang telah berhasil dilobi pihak Altimo-Alfa Group.
Ketua KPPU Muhammad Iqbal yang juga dituding telah menerima ‘pelicin’ sebesar Rp 5 miliar dalam pemeriksaan terhadap Temasek pun hanya geleng-geleng kepala. “Itu tidak masuk akal. Saya sendiri tidak tahu menahu soal tuduhan itu,” ujarnya.
KPPU, lanjut Iqbal hanya memeriksa, apakah kasus Temasek itu telah melanggar UU No. 5 Tahun 1999 atau tidak. Dan, apakah suatu persaingan usaha itu sehat atau tidak. Dalam perkara temasek ini, KPPU mendasarkan pemeriksaan pada 3 pasal, yaitu Pasal 17, Pasal 25 dan Pasal 27. “Lebih sedikit dari pasal-pasal yang dituduhkan FSP BUMN,” akunya.
Menanggapi tudingan bahwa KPPU terlalu memaksakan diri memeriksa kasus Temasek padahal kasus itu sudah kadaluarsa, Iqbal menjelaskan bahwa KPPU berpedoman pada Peraturan Komisi No.1 tahun 2006. Begitu ada laporan yang dilayangkan, hal itu tidak semerta-merta dianggap sebagai laporan resmi. Ada klarifikasi dulu sebelumnya, misalnya identitas pelapor.
Menurut Iqbal, KPPU secara resmi mencatat laporan dari FSP BUMN pada 22 Desember 2006. Setelah diterima, proses berikutnya adalah klarifikasi yang dapat memakan waktu selama 30 hari. Dan, jika dianggap perlu dapat ditambah 30 hari lagi. Disini KPPU-pun sudah memintakan cross-check kepada Indosat dan Telkomsel. Jika memang ada bukti awal pelangaran UU No. 5 tahun 1999, maka perkara masuk ke tahap pemberkasan, dimana rentang waktunya juga selama 30 hari.
Pemeriksaan pendahuluan merupakan kelanjutan dari proses pemberkasan. Awal April lalu, KPPU baru membentuk tim pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Temasek ini. “Jadi tidak ada itu daluwarsa. Semuanya on-time. Kalau ada yang bilang daluwarsa, hitungannya darimana?” seloroh Iqbal.
Sementara itu, Koordinator Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN) Arief Poyuono mengaku telah mendengar tentang adanya isu konspirasi di balik buy back Indosat. Bahkan, ia juga mendengar bahwa Altimo-Alfa ini telah menunggangi laporan FSP BUMN ke KPPU soal Temasek itu. Altimo-Alfa juga aktif mengkondisikan ekspose besar-besaran aktivitas FSP BUMN melaporkan Temasek ke KPPU.
Meski demikian, Arief mengaku tidak begitu mengenai sosok Musarman. “Ia pernah menelepon saya dan tanya soal kasus Temasek. Secara fisik, saya belum ketemu. Saya sih menduga, mungkin ada benarnya apa yang diungkap dalam press release itu,” paparnya. Nah, lo??

analisa ekonomi

ANALISA EKONOMI
Merajut Perdamaian Sosial
Djisman S Simanjuntak
Saat-saat peringatan Hari Buruh 1 Mei sudah lewat. Selama beberapa hari serikat-serikat buruh menegaskan sikap antirevisi UU Nomor 13 Tahun 2003. Mereka menang. Pemerintah mengundurkan revisi itu. Yang disulitkan adalah empat universitas yang harus menyikapi persoalan-persoalan yang pada dasarnya adalah persoalan politik dan bukan persoalan akademik. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bergabung dengan serikat buruh dalam menolak revisi UU No 13/2003. Pengusaha pun tampak melunak dengan menunjukkan kemauan mencari pemecahan melalui dialog bipartit.
Sementara itu, para pekerja sudah kembali ke pekerjaannya untuk menghadapi keseharian. Tumpukan masalah yang dihadapi Indonesia tidak menjadi lebih ringan. Ia tetap sangat besar dan rumit. Sepintas lalu tampak bodoh menanyakan apa masalah itu. Namun, seandainya masalah tersebut sudah diketahui, pemecahannya mungkin sudah ditemukan.
Dalam demokrasi muda dengan struktur kekuasaan yang kuasi-federal perbedaan, menyikapi hierarki preferensi adalah hakiki. Buruh berbeda dari pengusaha. Partai yang memerintah yang duduk di kursi empuk berbeda dari partai oposisi yang duduk di kursi keras. Namun, demokrasi bukanlah semata-mata kebebasan berbeda pendapat.
Eksistensi suatu bangsa sangat tergantung dari kemauan dan kemampuan pemimpinnya merajut konsensus, tidak hanya tentang hal-hal yang ideologis seperti keutuhan negara kesatuan, tetapi juga tentang "periuk nasi" rakyat serta menavigasi rakyat menuju perwujudan konsensus itu.
Inti persoalan pembangunan
Bagi saya, pengangguran adalah persoalan yang patut diletakkan sebagai inti persoalan-persoalan pembangunan Indonesia tahun 2005-2009. Yang lain-lain, termasuk revisi UU No 13/2003, adalah masalah-masalah ikutan. Pengangguran adalah bagian dari banyak enigma atau misteri yang dihadapi Indonesia. Namun, keparahan pengangguran Indonesia dapat disimak dari berbagai bukti anekdotal.
Dari angkatan kerja yang berjumlah 105 juta dalam tahun 2005, penganggur terbuka tidak kurang dari 10,3 persen, suatu tingkat pengangguran yang tinggi menurut standar mana pun dengan penumpukan di usia muda dan pendidikan yang tinggi. Dari sisanya, yang bekerja, bagian terbesar tersebar dalam status pekerjaan yang tampaknya rapuh.
Mereka yang bekerja tanpa bantuan orang lain atau bekerja dengan bantuan anggota keluarga tidak kurang dari 36,6 persen. Pekerja yang tidak dibayar, terutama dari pekerja keluarga, tak kurang dari 17,5 persen. Di antara mereka 14,5 persen bekerja kurang dari 25 jam seminggu. Bagi mereka ini, UU No 13/2003 pada dasarnya tidak relevan. Namun, bagi pengusaha dengan pekerja tetap, yaitu 2,7 persen dari angkatan kerja, dan pekerja tetap, yaitu 24,3 persen dari angkatan kerja, UU itu dan revisinya merupakan urusan yang sangat penting.
Dari sudut pandang ekonomi makro, pengangguran tinggi adalah tanda ketidakseimbangan. Dengan inflasi rendah pun kemelaratan tinggi menimpa rakyat di bawah pengangguran yang tinggi. Republik Indonesia didirikan, antara lain, merupakan perwujudan hak dasar rakyat untuk memperoleh pekerjaan.
Pengangguran yang tinggi berarti kesempatan besar yang hilang (foregone income). Di balik pengangguran tinggi ada kemiskinan parah yang dapat diringankan, tetapi tidak dipecahkan melalui subsidi atau transfer. Pengangguran juga mempunyai sisi kemanusiaan. Penganggur kronis diancam oleh erosi kepercayaan diri atau erosi modal sosial.
Seorang ayah atau ibu yang memburu lowongan kerja di sudut-sudut kota atau desa, tetapi tidak menemukannya, akan kewalahan menjawab pertanyaan anak-anaknya. Lebih dari itu, pengangguran tinggi yang naik adalah ladang subur bagi ekstremisasi sampai-sampai, misalnya, Adolf Hitler berhasil menukar pekerjaan dengan kebebasan seraya meninggalkan jejak abadi dari kebiadabannya.
Pertambahan lapangan kerja pada kecepatan tinggi adalah ujian terberat (litmus test) bagi para pemimpin politik Indonesia, yakni pemimpin pemerintah pusat, gubernur, bupati, para birokrat, para anggota DPR dan DPRD, pemimpin partai politik, jaksa dan hakim, para pemimpin bisnis dan pemimpin buruh. Seandainya masih hidup, Gajah Mada mungkin akan mengikrarkan Sumpah Palapa II,
"Tidak akan memakan nasi sebelum tren pengangguran berbalik turun".
Sumbangan pihak luar bagi pembangunan Indonesia, termasuk kreditur-kreditur besar seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Jepang juga perlu diukur dengan dampak perbuatan mereka terhadap perluasan lapangan kerja. Dengan segala hak yang sah untuk berbeda pendapat konsensus nasional tentang urgensi pemerangan pengangguran adalah imperatif bagi setiap pemimpin, biarpun tanggung jawab terbesar dipikul oleh pemimpin-pemimpin yang berkuasa.
Memperluas lapangan kerja pada kecepatan tinggi bukan perkara baru dalam pembangunan ekonomi. Mustahil juga, juga tidak. Beberapa tetangga utara Indonesia sedang melakukannya. Para ekonom dan politisi mempunyai jurus konvensional untuk mengupayakannya, yaitu stimulasi ekonomi makro.
Jangan terlalu konservatif
Dari perspektif ini, kebijakan fiskal Indonesia 2005 tidak harus sekonservatif seperti yang dianut sekarang. Bunga tinggi Bank Indonesia (BI) yang mengilhami "intermediasi terbalik", yaitu penanaman deposito bank dalam surat utang pemerintah dan BI yang bunganya lebih tinggi daripada bunga deposito bank, adalah sangat problematik.
Profil kebijakan itu perlu diganti kalaupun mengusung risiko lain, seperti melemahnya nilai tukar rupiah. Ke dalam jurus-jurus konvensional juga termasuk perubahan-perubahan inkremental dalam kebijakan, termasuk revisi UU yang penegakannya terbentur pada banyak rintangan. Melalui jurus-jurus konvensional itu diharapkan pertumbuhan pendapatan. Hal ini pada gilirannya mendongkrak pertumbuhan investasi oleh perusahaan yang sudah ada dan atau oleh perusahaan baru.
Pemenang dalam politik pada umumnya tidak bertumpu semata-mata atas jurus-jurus konvensional. Kualitas mereka justru tampak dalam jurus-jurus lateral atau jurus-jurus yang tidak konvensional, atau yang melawan arus seperti tampak dalam Kebijakan Ekonomi Baru Deng Xiao Ping.
Karena itu timbul pertanyaan tentang sejauh mana ruang bagi jurus-jurus lateral seperti itu tersedia di Indonesia. Tidak sedikit jumlah prakarsa-prakarsa lateral yang sedang digodok Indonesia dewasa ini. Ke dalamnya termasuk RUU Penanaman Modal 2006, reformasi regulasi dan perizinan, RUU Perpajakan, RUU Perseroan Terbatas dan, tentu saja, rencana revisi UU No 13/2003.
Untuk bisa menembus rintangan-rintangan prakarsa-prakarsa itu diperlukan kampiun yang tersebar di semua pihak yang terkait. Semakin keras seseorang berpikir tentang kerumitan perizinan di Indonesia semakin tampak jelas betapa pentingnya reformasi besar-besaran. Para kampiun itu harus berpikir keras untuk menemukan kompromi yang memenangkan hati dari pihak-pihak terkait dan menindaklanjuti kompromi itu dengan tindakan-tindakan.
Dapat saja pemerintah, partai politik, serikat pengusaha, dan serikat buruh berkeras pada posisi masing-masing, seperti dalam menentang atau membela revisi UU No 13/2003, tetapi dengan berkeras saja tidak satu pun di antara mereka menang. Selama penganggur Indonesia masih tinggi dan naik, selama itu pula penduduk dalam kemiskinan dan pinggir kemiskinan akan tetap besar, dan selama itu pula erosi daya saing Indonesia di dunia yang bergerak cepat akan berlanjut.
Selama ini penganggur Indonesia memang cenderung tidak mempunyai cantolan dalam perpolitikan. Saatnya sudah tiba bahwa semua pusat kekuasaan, termasuk serikat buruh dan serikat pengusaha, memikirkan penganggur terbuka dan penganggur terselebung ketika memperjuangkan kepentingan kelompok masing-masing.
Aksi gabungan seperti itu dapat disebut sebagai perdamaian sosial yang dalam sejarah bangsa-bangsa sering menjadi bagian wajib dari ciri-ciri pemenang. Tanpa itu, perjuangan-perjuangan kelompok akan berjumlah nol, yakni kemenangan satu pihak disertai kekalahan pihak lain. Bangsa adalah mesin perajut dan penjaga hubungan yang berjumlah positif, yakni kemenangan satu pihak disertai oleh kemenangan pihak lain.

TUNTUTAN KAUM PEKERJA DAN PERGERAKAN KESATUAN SEKERJA

TUNTUTAN KAUM PEKERJA DAN PERGERAKAN KESATUAN SEKERJA
12 March 2004
PERUNTUKAN JAMINAN SOSIAL YANG KOMPREHENSIF
Bilangan besar pengundi adalah pekerja. Pekerja adalah merupakan tulang belakang kepada ekonomi dan mereka jugalah yang mencari rezeki untuk menyara keluarganya. Mereka perlu diberi perlindungan dan dijaga dengan sewajarnya. Mereka tidak sepatutnya menjadi mangsa kepada penyusunan semula perniagaan, pusingan turun-naik perniagaan dan kecanggihan teknologi.
Pembangunan hendaklah berorientasikan untuk keperluan rakyat dan tidak dalam bentuk apa yang dipanggil Projek ‘Mega’. Negara membangun adalah diukur melalui taraf hidup penduduk-penduduknya dan jaminan sosial maka perlindungan mestilah diberikan untuk meningkatkan nilai hidup insan agar ia menjadi kebanggaan negara.
Oleh yang demikian, kami menyeru agar satu reformasi yang komprehensif terhadap skim di bawah Akta Keselamatan Sosial dan Akta KWSP dilakukan, bagi:-
(a) Memperuntukan bayaran penuh kepada pekerja yang bermasalah dengan hilang upaya sementara atau kekal yang tidak dapat berkerja;
(b) Mengadakan perlindungan 24 jam terhadap kemalangan;
(c) Mengadakan dividen minimum 8% setahun bagi simpanan KWSP;
(d) Mengadakan pinjaman perumahan bagi yang berpendapatan rendah dengan kadar faedah yang rendah;
(e) Mengadakan Faedah pembuangan kerja yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan bantuan kerana tidak berkerja.
Untuk memaksimumkan keupayaan Tabung Keselamatan Sosial dan KWSP, kami mencadangkan agar kedua-dua tabung tersebut digabungkan. Keuntungan yang diperolehi dari penggabungan ini mestilah digunakan hanya oleh pencarum dan tidak untuk digunakan bagi menyelamatkan Syarikat-Syarikat perniagaan.
Di dalam hubungan ini, pemerintah perlu bertanggungjawab untuk membuat pindaan terhadap kedua-dua Undang-Undang Sosial di atas untuk menentukan bahawa pentadbirannya yang telus dan melantik Lembaga Pengarah dan panel pelaburan yang terdiri dari sesetengah wakil pekerja yang bertanggungjawab terhadap pencarum. Skim tersebut sepatutnya melindungi semua pekerja termasuk pekerja dari sektor awam tanpa mengira jumlah upah mereka. Pencen bagi pekerja-pekerja di sektor awam pula perlu dikira berdasarkan kepada tempoh perkhidmatan yang penuh mereka.
JAMINAN UNTUK MENINGKATKAN KUALITI HIDUP
Walaupun lonjakan berlaku di dalam pertumbuhan ekonomi, taraf kehidupan pekerja tidak selaras dengan kemajuan ekonomi. Pekerja-pekerja terpaksa melakukan kerja lebih masa dan terpaksa menjalankan kerja-kerja lain bagi menampung keperluannya. Majikan pula meraih keuntungan yang besar tetapi pekerja jarang memperolehi penghargaan diatas kerja kerasnya sehingga kehidupan mereka terjejas dan anak-anak mereka terabai. Pekerja-pekerja mahukan pengagihan keuntungan yang lebih adil dan pembahagian masa yang sesuai dengan keluarga mereka.
Untuk meningkatkan kualiti hidup pekerja di dalam sektor awam dan swasta, langkah-langkah berikut perlu diambil untuk menentukan bahawa:-
(a) Gaji pokok minimum sebulan pada jumlah RM900.00 hendaklah digunapakai untuk semua pekerja termasuk pekerja-pekerja dalam sektor perladangan;
(b) Kerja 5 hari seminggu dengan jumlah jam kerja 40 jam seminggu;
(c) Cuti bersalin mandatori 90 hari dan 14 hari cuti untuk bapa;
(d) Pusat Asuhan Kanak-Kanak disediakan di tempat kerja;
(e) Semua bentuk gangguan seksual hendaklah dihapuskan dan layanan samarata diberikan kepada pekerja lelaki dan perempuan;
(f) Membina rumah-rumah kediaman dengan 3 bilik tidur dan 2 bilik air yang mampu dibeli oleh pekerja dengan segala keperluan asas yang lengkap disediakan seperti kemudahan jalanraya, bekalan air, bekalan letrik dan kenderaan awam;
(g) Pendidikan dan Kesihatan hendaklah tidak diswastakan dan ianya kekal dibiayai melalui hasil negara;
(h) Kaji semula langkah penswastaan beberapa agensi awam yang tidak memberi manfaat kepada pengguna dan pekerja.
(i) Membekukan pengambilan pekerja asing sehingga satu kajian yang menyeluruh dilakukan bagi mengenal pasti situasi pekerjaan, keperluan dan kehendak pekerja asing.
HAK BAGI MENDAPATKAN PERLINDUNGAN MELALUI UNDANG-UNDANG DENGAN SEGERA
Jentera bagi menyelesaikan pertikaian perusahaan adalah amat perlu bagi meningkatkan dan mengekalkan keharmonian di dalam Industri. Maka adalah mustahak bahawa mekanisme rundingan damai diperkemaskan agar ianya tidak berat sebelah, lebih profesional dan pantas dalam penyelesaianya.
Kami menyeru agar kajian semula dibuat terhadap sistem timbangtara termasuk mekanisme untuk mempercepatkan proses yang melibatkan buruh dan perhubungan perusahaan. Kami menyeru agar:-
(a) Sistem yang sedia ada dalam melantik Presiden dan Pengerusi Mahkamah Perusahaan digantikan terma kontrak kepada taraf tetap.
(b) Mahkamah Buruh hendaklah dipinda guna mengasingkan proses timbang-tara/rundingan dan pendakwaan supaya ianya tidak dilakukan oleh pegawai yang sama.
(c) Membenarkan seseorang yang menghadapi pertikaian perusahaan diberi peluang untuk menyuarakan ketidakpuasan beliau melalui saluran sah yang lain jika sekiranya kes pembuangan kerja mereka tidak dirujuk ke Mahkamah Perusahaan oleh Menteri Sumber Manusia;
(d) Pengiktirafan kesatuan sekerja hendaklah diberikan secara automatik bagi mengelakkan tindakan union-busting oleh sesetengah majikan yang anti kesatuan. Pengiktirafan ini adalah selari dengan Artikel 10 Perlembagaan Negara yang menjamin hak pekerja untuk menganggotai kesatuan secara bebas/sukarela.
KOMITMEN TERHADAP TRIPATISME
Tripatisme adalah merupakan mekanisme yang penting di dalam mengekalkan keharmonian perusahaan. Ia adalah penting dalam pembangunan dan pertumbuhan sistem perhubungan perusahaan yang diatur sendiri, khususnya dan masyarakat madani amnya. Tripartisme mengiktiraf buruh dan pemodal sebagai rakan kongsi sosial yang mempunyai matlamat bersama dalam hal ekonomi dan pembangunan sosial demi kepentingan rakyat dan negara.
Adalah dicadangkan supaya nama Majlis Penasihat Buruh Kebangsaan ditukar kepada Majlis Buruh Kebangsaan dengan dipertanggungjawabkan keatas perkara perkara yang berkaitan dengan buruh dan perhubungan perusahaan dengan semua keputusan dibuat secara konsensus dan diterima pakai. Anggota Majlis hendaklah dilantik oleh kesatuan yang mewakili pekerja dan majikan masing-masing tanpa sebarang campurtangan oleh mana-mana pihak.
MEMPERTINGKATKAN KELUHURAN UNDANG-UNDANG, KEADILAN DAN DEMOKRASI
Keadilan dan demokrasi adalah merupakan asas penting dalam hal pengagihan kekayaan negara dan pembangunan budaya politik, yang mana ianya meningkatkan kestabilan dan keharmonian. Tanpa satu sistem yang mengawal dan memeriksa ke atas mereka yang dipertanggungjawabkan maka para pemimpin akan menyebarkan barah korupsi ke dalam kancah masyarakat dan sedikit demi sedikit menghancurkan masyarakat itu sendiri. Pekerja-Pekerja percaya bahawa untuk negara maju ke hadapan, demokrasi hendaklah diperkuatkan. Ini termasuklah:-
(a) Memperkenalkan sistem pemilihan yang bebas dan adil di setiap peringkat termasuk Majlis Tempatan, Daerah, Bandaraya dan Senat;
(b) Memansuhkan semua undang-undang yang menindas rakyat seperti ISA, OSA, Akta Hasutan, Akta Polis, Akta Universiti dan Universiti Kolej dan Akta Cetak dan Penerbitan;
(c) Kes-kes pembuangan kerja yang tidak diselesaikan oleh Jabatan Perhubungan Perusahaan hendaklah dirujuk secara automatik ke Mahkamah Perusahaan tanpa perlu kelulusan Menteri.
(d) Pertanggungjawaban bagi penggunaan wang awam dan telus dalam perlaksanaan polisi awam;
(e) Mengembalikan kebebasan ke atas Institusi Kehakiman, Suruhanjaya Pilihanraya dan Pejabat Peguam Negara.
Jumaat 12hb Mac 2004

Malaysia Trade Union Congress