Sunday, August 8, 2010

State-owned oil and gas company Pertamina will soon face a civil suit by SOE UNION

The Jakarta Post, Jakarta | Sat, 08/07/2010 11:42 AM | National
A | A | A |

State-owned oil and gas company Pertamina will soon face a civil suit to ensure that it compensates victims of exploding gas canisters.

The suit would be the first filed by citizens after almost 200 people have been injured or killed in recent months.

FX Arief Poyuono, the head of the standing committee for the United Union Federation of State-Owned Enterprises (FSP BUMN), said Friday that the FSP BUMN, acting on behalf of citizens, would notify Pertamina on Aug. 8 about its responsibility to pay compensation, as well as to publicize safety guidelines in the media to prevent further accidents.

"Should they fail to comply, we will file a lawsuit at the Central Jakarta District Court on Monday, Aug. 16," Arief said, adding that Pertamina was in violation of the 1999 Consumer Protection Law, which required producers to disseminate information on gas canister safety measures, including usage, repair and maintenance.

The country is facing an unprecedented challenge of ensuring gas canister safety and quality for low-income citizens, many of whom use government-subsidized 3-kilogram LPG canisters for cooking.

The Center for Public Interest Studies recorded that, as of July 8, 189 people had been either injured or killed in gas canister explosions and fires. The Jakarta Police also reported 32 cases of gas explosions in the capital alone as of July.

Arief said Pertamina had washed it hands of the safety issue, especially with regard to regulations on the installation and maintenance of gas canisters inside people's homes.

"Pertamina cites *problems with gas canister accessories, such as hoses and regulators' as a pretext for the recent spate of gas explosions in the country," he said.

When Pertamina was pressed, he said, the company sought to blame the problem on the public, saying that people's understanding of maintenance and safety was low.

Arief added that the FSP BUMN had legal standing to file a lawsuit against Pertamina because its statutes stipulated that one of the FSP BUMN's purposes was to improve the well-being of Indonesians.

The lawsuit will seek to have Pertamina pay Rp 100 million (US$11,200) to the beneficiaries of dead victims, Rp 150 million to permanently disabled victims and Rp 20 million to the injured.

In June, Pertamina started a compensation program for victims of the 3-kilogram canister explosions. Those who suffered permanent injury or the beneficiaries of dead victims received Rp 25 million.

Arief said the FSP BUMN would also file a suit against the Indonesian Consumers Foundation (YLKI) for not protecting consumer rights. "We do not see any concrete efforts by the YLKI when it comes to protecting those affected by the gas explosions," he said.

Tulus Abadi of the YLKI rejected Arief's claim, saying that efforts to help victims of gas explosions were underway.

He clarified that the YLKI had held discussions with other NGOs, such as the Indonesia Legal Aid Foundation, to consider possible legal action against Pertamina.

The YLKI, Tulus continued, opted for a lawsuit rather than a class action because the judicial process was simpler and less expensive.

Commenting on the FSP BUMN's plan to sue the YLKI, Soedaryatmo of the YLKI said the FSP BUMN should direct the legal action against the National Consumer Protection Agency. (tsy)

Friday, August 6, 2010

Buruh Pelabuhan Demo ke Nakertrans Jakut

Buruh Pelabuhan Demo ke Nakertrans Jakut

Puluhan buruh yang bekerja di PT Dok Koja Bahari (PT DKB), Jakarta Utara melakukan unjuk rasa di Kantor Suku Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara (Sudin Nakertrans Jakut). Mereka menuntut perusahaan segera membayar uang Jamsostek dan mengembalikan dana pensiun. Kasudin Nakertrans Jakut yang menemui perwakilan pekerja berjanji, akan menjadi fasilitator perselisihan antara buruh dan perusahaan.

Sejak Senin (18/5) siang, sekitar 50 karyawan yang tergabung serikat pekerja DKP grup sudah memenuhi kantor Sudin Nakretrans Jakut. Protes mereka sekaligus mewakili ribuan buruh lainnya yang tergabung di SP DKB Semarang, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Banjarmasin, Padang, Subang, dan Palembang. Dalam aksinya, mereka membawa berbagai spanduk yang diantaranya berbunyi, "Segera bayarkan uang Jamsostek dan kembalikan hak karyawan yaitu dana pensiun."

Para karyawan tampak kesal, karena sebelumnya mereka telah berulang kali melakukan aksi unjuk rasa di perusahaannya. Berulang kali pula protes langsung karyawan tak digubris perusahaan. “Saya tidak tahu alasannya perusahan tak pernah menanggapi aksi demo kami," kata Gatot Gardjito, Ketua Umum SP DKB Grup.

Dikatakan Gatot, ia bersama teman-temanya meminta manajemen perusahaan agar tidak melakukan intimidasi terhadap serikat pekerja DKB Group. ia dan teman-temannya juga menuntut hak normatif seperti adanya tunggakan iuran Jamsostek dan dana pensiun yang tidak pernah dibayar oleh perusahaan. “Sampai saat ini Jamsostek kami yang tertunggak belum dibayar, bahkan ada teman kami yang sudah pensiun belum juga mendapat bayaran,” katanya.

Sikap perusahaan yang semena-mena ditunjukan saat seorang karyawan bernama Karyanto yang sudah bekerja selama 24 tahun di PHK sepihak. Padahal, sehari sebelum di PHK karyawan tersebut akan dipensiunkan. Ini baru sebagian kecil kasus, karena ada dua ribu karyawan merasa kesulitan melakukan klaim dan mengetahui saldo melalui Password Online Sistem Jamsostek.

Bahkan, rumahsakit yang menjadi rujukan tidak bersedia memberikan layanan kesehatan kepada karyawan DKB. “Dengan kesulitannya para karyawan DKB itu pula, kami pernah melakukan unjuk rasa di perusahaan. Bahkan, lewat audiensi dan tatap muka juga sudah kami lakukan. Tetapi tetap saja manajemen perusahaan tidak mengubris tuntutan kami,” ujarnya.

Aksi demo para karyawan DKB berlangsung selama tiga jam. Setelah 20 karyawan yang menjadi perwakilan pendemo diterima, akhirnya puluhan buruh itu membubarkan diri dnegan tertib. Kasudin Nakertans Jakut, Saut Tambunan, menjelaskan, tuntutan dan aspirasi karyawan PT DKB akan dipelajari dan diproses. “Sementara ditampung. Karena, salah satu tuntutannya Nakertrans Jakut diminta sebagai fasilitator. Untuk itu, kita akan mempelajari dahulu berkas tuntutan para karyawan tersebut,” ujar Saut.

Penulis: wiastuti

Thursday, August 5, 2010

Bom Hijau’ Marak, Pertamina Bakal Digugat


Bom Hijau’ Marak, Pertamina Bakal Digugat

Maraknya ledakan tabung gas 3 kg menjadi momok. Bahkan mendapat sebutan ‘bom hijau’. Korban ledakan harus menderita kerugian yang amat besar. Namun Pertamina terkesan melepas tanggung jawab. Pertamina pun bakal digugat.

Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSP BUMN Bersatu) berencana mengajukan gugatan terhadap Pertamina terkait tragedi ‘bom hijau’. Gugatan akan didaftarkan ke Panitera Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin 16 Agustus 2010.

Rencana ini disampaikan Jubir Serikat Pengacara Rakyat (SPR) Habiburokhman selaku kuasa hukum FSP BUMN Bersatu dan Ketua Presidium FSP BUMN Bersatu FX Arief Poyuono melalui keterangan tertulis kepada matanews.com, Kamis (5/8/2010).

“Salah satu prosedur yang harus ditempuh dalam gugatan citizen law suit adalah menyampaikan notifikasi secara terbuka. Notifikasi ini dilakukan untuk mendorong Pertamina melakukan perbaikan kesalahan sebelum gugatan benar-benar didaftarkan,” sebut Habib dan Arief.

FSP BUMN Bersatu mencatat puluhan ledakan tabung gas yang terjadi selama tahun 2010 adalah tragedi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Korban ledakan harus menderita kerugian yang amat besar, mulai dari rumahnya yang hancur berantakan, mengalami luka bakar yang parah, dan bahkan harus kehilangan nyawa.

“Selama ini Pertamina terkesan melepas tanggung jawab atas ledakan tabung gas. Pertamina mengampanyekan ledakan terjadi karena permasalahan selang, regulator dan ketidakmengertian masyarakat. Padahal pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi ledakan tabung gas adalah Pertamina sebagai satu-satunya pelaku usaha penjual gas untuk keperluan rumah tangga di Indonesia,” tutur Habib.

Selain itu, lanjut dia, Pertamina sesungguhnya adalah pemilik tabung gas rumah tangga di Indonesia. Fakta bahwa Pertamina adalah pemilik tabung gas yang beredar di masyarakat dapat disimpulkan dari rotasi tabung gas yang terjadi pada saat masyarakat membeli gas melalui agen. Selain itu perawatan tabung gas tersebut selama ini juga dilakukan oleh Pertamina, bukan masyarakat.

“Sejumlah uang yang dikeluarkan masyarakat untuk mendapatkan tabung gas sebenarnya bukan uang pembelian, melainkan uang jaminan atas pemakaian tabung gas,” tegas Habib.

Pertamina sebagai penjual gas dan pemilik tabung gas, sambung dia, patut diduga telah melanggar pasal 4 huruf a UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang secara jelas mengatur bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa. Selain itu Pertamina juga melanggar pasal 7 huruf b UU yang sama, yang berbunyi kewajiban produsen adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

Secara nyata dan jelas, sebut dia, masyarakat sebagai konsumen gas dan tabung gas Pertamina dilanggar haknya atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Sementara di sisi lain Pertamina juga melalaikan kewajibannya dengan tidak memberikan informasi yang benar, jelas serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan gas dan tabung gas.

“Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa masyarakat tidak diberikan brosur yang berisi informasi penggunaan gas yang aman setiap mereka membeli gas. Meskipun masyarakat membeli gas dari agen-agen, namun pelaku usaha utama penjual gas tersebut adalah Pertamina,” sebut Habib.

Berdasarkan UU Konsumen, jelas dia, seharusnya Pertamina membuat brosur panduan yang secara jelas menginformasikan cara pemasangan dan pemakaian tabung yang benar dan aman. Brosur tersebut harus diberikan berbarengan dengan penjualan setiap tabung gas kepada masyarakat.

“Praktek hukum di Indonesia memungkinkan masyarakat melakukan gugatan warga negara atau citizen law suit kepada Pertamina terkait tragedi ledakan tabung gas. Pertamina digugat karena Pertamina adalah pemegang otoritas penjualan gas dan pemakaian tabung gas rumah tangga di Indonesia. Penggugat dalam gugatan ini adalah FSP BUMN Bersatu yang memiliki legal standing karena di Anggaran Dasarnya tercantum tujuan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia,” jelas Habib. (*/sss)

NOTIFIKASI GUGATAN CITIZEN LAWSUIT KEPADA PERTAMINA TERKAIT TRAGEDI LEDAKANTABUNG GAS


Salah satu prosedur yangt harus ditempuh dalam gugatan Citizen Law Suit adalah menyampaiakan notifikasi secara terbuka. Notifikasi ini dilakukan untuk mendorong pihak yang digugat untuk melakukan perbaikan kesalahan sebelum gugatann benar-benar didaftarkan.

Terkait rencana Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSP BUMN Bersatu) untuk mengajukan gugatan terhadap Pertamina terkait tragedy ledakan tabung gas, dengan ini kami selaku kuasa hukum FSP BUMN Bersatu sampaikan notifikasi sebagai berikut :


1. Puluhan ledakan tabung gas yang terjadi selama tahuan 2010 adalah tragedy kemanusiaan yang sangat memperihatinkan. Korban ledakan harus menderita kerugian yang amat besar mulai dari rumahnya yang hancur berantakan, mengalami luka baker yang parah dan bahkan harus kehilangan nyawa.

2. Selama ini Pertamina terkesan melepas tanggung-jawab atas ledakan tabung gas. Pertamina mengkampanyekan bahwa ledakan terjadi karena permasalahan selang, regulator dan ketidak-mengertian masyarakat.

3. Padahal pihak yang paling bertanggung-jawab atas tragedy ledakan tabung gas adalah Pertamina sebagai satu-satunya pelaku usaha penjual gas untuk keperluan rumah tangga di Indonesia.

4. Selain itu Pertaminan sesungguhnya adalah pemilik tabung gas rumah tangga di Indonesia.Fakta bahwa Pertamina adalah pemilik tabung gas yang beredar di masyarakat dapat disimpulkan dari rotasi tabung gas yang terjadi pada saat masyarakat membeli gas melalui agen. Selain itu perawatan tabung gas ttersebut selama ini juga dilakukan oleh Pertamina dan bukan masyarakat.

5. Sejumlah uang yang dikeluarkan masyrakat untuk mendapatkan tabung gas sebenarnya bukan uang pembelian melainkan uang jaminan atas pemakaian tabung gas.

6. Pertamina sebagai penjual gas dan pemilik tabung gas patut diduga telah melanggar Pasal 4 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara jelas mengatur bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa.

7. Selain itu Pertamina juga melanggar Pasal 7 huruf b UU yang sama yang berbunyi kewajiban produsen adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

8. Secara nyata dan jelas, masyarakat sebagai konsumen gas dan tabung gas Pertamina dilanggar haknya atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Sementara disisi lain Pertamina juga melalaikan kewajibannya dengan tidak memberikan informasi yang benar, jelas serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan gas dan tabung gas;

9. Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa masyarakat tidak diberikan brosur yang berisi informasi penggunaan gas yang aman setiap mereka membeli gas. Meskipun masyarakat membeli gas dari agen-agen namun pelaku usaha utama penjual gas tersebut adalah Pertamina.

10. Berdasarkan UU Konsumen, seharusnya Pertamina membuat brosur panduan yang secara jelas menginformasikan cara pemasangan dan pemakaian tabung yang benar dan aman. Brosur tersebut harus diberikan berbarengan dengan penjualan setiap tabung gas kepada masyarakat.

11. Praktek hukum di Indonesia memungkinkan masyarakat melakukan gugatan warga negara (Citizen Law Suit) kepada Pertamina terkait tragedi ledakan tabung gas. Pertamina digugat karena Pertamina adalah pemegang otoritas penjualan gas dan pemakaian tabung gas rumah tangga di Indonesia.

12. Penggugat dalam gugatan ini adalah Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu yang memiliki legal standing karena di Anggaran Dasartnya tercantuk tujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia .

13. Gugatan akan didaftarkan ke Panitera Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Senin (16/8) yang akan datang.

14. Namun sebelum gugatan benar-benar didaftarkan dengan ini kami memberikan kesempatan kepada Pertamina untuk melakukan perbaikan kesalahan dengan melakukan :


- Membuat brosur panduan yang secara jelas menginformasikan cara pemasangan dan pemakaian tabung yang benar dan aman. Brosur tersebut harus diberikan berbarengan dengan penjualan setiap tabung gas kepada masyarakat.

- Mebuat iklan layanan di setidak-tidaknya 5 stasiun TV nasional, 5 stasiun radio nasional, 5 surat kabar nasional yang secara jelas menginformasikan cara pemasangan dan pemakaian tabung gas yang benar dan aman.

- Menyediakan sambungan telepon khusus (Hot Line) untuk menjawab pertanyaan masyarakat tentang pemasangan dan pemakaian tabung gas.

- Menanggung biaya perawatan seluruh korban ledakan gas.

- Mengganti rugi biaya kerusakan rumah seluruh korban ledakan gas

- Memberikan santunan kepada masyarakat korban ledakan gas berupa uang sejumlah Rp 100.000.000,00 untuk ahli waris setiap korban meninggal, uang sejumlah Rp 150.000.000,00 untuk setiap korban cacat tetap, uang sejumlah Rp 20.000.000,00 untuk setiap korban luka ringan.

15. Bahwa apabila Pertamina melakukan perbaikan kesalahan sebagaimana di maksud di atas, maka gugatan citizen law suit akan dibatalkan

Demikianlah notifikasi ini disampaikan secara terbuka agar dapat diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh Pertamina.

Jakarta 5 Agustus 2010
FSP BUMN BERSATU
SERIKAT PENGACARA RAKYAT

Monday, August 2, 2010

KSO TPK KOJA : MELANGGAR HUKUM,MENEG BUMN HARUS SEGERA SELESAIKAN

Dari tinjauan hukum ketanagakerjaan dan hukum korporasi

Direksinya bisa berpenghasilan hampir 1 MILYAR setahun

TPK Koja adalah terminal petikemas di tanjung priok yang dibangun dan dikelola oleh PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Humpuss Terminal Petikemas yang meliputi panjang dermaga 650 M, lapangan penumpukan petikemas (container yard)-utilitas-dan jalan lingkungan seluas 30,6 Ha, 6 unit container crane, 21 unit transtainer (RTG), 40 head truk dan 50 chasis. Perjanjian kerjasama pembangunan dan pengeloaan dua perusahaan tersebut dituangkan dalam Perjanjian No. HK 566/6/4/PI.II-94 dan 001/HTP-PI.II/VIII/1994 yang kemudian diamandemen menjadi Addendum Perjanjian No. HK 566/2/12/PI.II-99 dan 0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK Koja saat itu dibangun dengan kapasitas produksi (throughput) sebesar 1 juta TEUs per tahun. Dikarenakan krisis ekonomi tahun 1998 yang disusul dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 2000 saham PT Humpuss Terminal Petikemas (selanjutnya disebut HTP) sebesar 100% dijual kepada Ocean Deep Invesment Holding Ltd.(59,6%) dan Ocean East Invesment Holding Ltd.(40,4%) yang berbadan Mauritius dan selanjutnya HTP berubah nama menjadi PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum asing. Pada tanggal 28 agustus 2000 berdirilah PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum Indonesia dan akhirnya berubah lagi menjadi PT Hutchison Port Indonesia (selanjutnya disebut PT HPI) pada tanggal 14 agustus 2007. PT HPI adalah anak perusahaan Hutchison Port Holding yang berpusat di Hongkong yang merupakan operator terminal dunia yang memiliki 70 pelabuhan di 24 negara. Hingga saat ini TPK Koja telah beroperasi lebih dari 10 tahun dengan troughput tertinggi dicapai pada tahun 2008 lalu yaitu sekitar 706.000 TEUs dengan keuntungan bersih hampir 500 Milyar rupiah. Dengan kesepakatan pembagian keuntungan 52,12% untuk PT Pelindo II dan 47,88 untuk PT HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis yang profitable dan prospektif.

Namun dibalik keuntungan yang dinikmati oleh kedua pemilik TPK Koja menyimpan 2(dua) permasalahan besar. Permasalahan itu adalah :

1. PERMASALAHAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

Seperti diketahui TPK Koja hanya sebuah unit terminal petikemas yang dikelola bersama secara terpisah dari kedua perusahaan induknya (Pelindo II dan HPI). Namun demikian apa yang dikelola TPK Koja merupakan kegiatan pokok dalan sebuah bisnis pelabuhan yaitu bongkar-muat dan receiving-delivery petikemas dimana dalam kesehariannya Manajemen KSO TPK Koja yang bertanggung jawab kepada perusahaan induk atas segala pengelolaannya. Dan uniknya Manajemen KSO ini bisa merekrut dan mempekerjakan karyawan tetap. Menurut pasal 64 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui 2(dua) metoda yaitu : perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja atau buruh. Dalam pasal 65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang diserahkan pengelolaannya tersebut tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan pengelolanya harus berbadan hukum. Disinilah letak PELANGGARAN HUKUM KSO TPK Koja dari sisi ketenagakerjaan,yaitu :

Ÿ KSO TPK Koja melakukan kegiatan pokok pelabuhan tetapi karyawan yang dipekerjakan bukan merupakan karyawan tetap perusahaan induknya (PT Pelindo II atau PT HPI)

Ÿ KSO TPK oja bukan perusahaan yang berdiri sendiri, bukan perusahaan outsourcing, dan bukan perusahaan berbadan hukum tetap tetapi mempunyai karyawan tetap.

Pelanggaran Hukum di atas dapat diselesaikan dengan 2 alternatif :

Ÿ KSO TPK Koja menjadi unit terminal petikemas yang keberadaannya merupakan salah satu unit usaha yang tidak terpisahkan dari perusahaan induk PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dimana karyawannya merupakan karyawan tetap Pelindo II dengan tetap ada pembagian keuntungan dengan PT HPI.

Ÿ KSO TPK Koja ditingkatkan menjadi perusahaan patungan yang berbadan hukum tetap (join venture company) dimana karyawannya menjadi karyawan tetap perusahaan baru ini.

2. PERMASALAHAN HUKUM KORPORASI

Seperti dijelaskan sebelumnya KSO TPK Koja dikelola dengan model Kerja Sama Operasi antara PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Hutchison Port Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, yaitu :

Ÿ Status kepemilikan 100% saham asing setelah pengambilahan alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port Indonesia. Hal ini menyalahi UU PMA No. 1 tahun 1967; PP No. 83 tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa kepelabuhanan, PMA hanya boleh mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU PMA yang baru No. 25 tahun 2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh mengusai maksimal saham 45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal tersebut keberadaan HPI di Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.

Ÿ Status Perjanjian Kerja Sama Operasi akibat pengambil alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port Indonesia. Hingga detik ini belum ada sebuah dokumen pun yang menyatakan bahwa Pelindo II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan PT Hutchison Port Indonesia. Padahal sejak dilakukan penjualan saham dari Humpuss Terminal Petikemas kepada PT HPI telah dilakukan transaksi dan korespondensi antara Pelindo II dan HPI. Hal ini terjadi karena belum diubahnya salah satu subyek dalam perjanjian induk kerjasama sehingga sampai saat ini yang tercantum masih PT Pelindo II dan PT Humpuss Terminal Petikemas. Akibatnya pelaksanaan kerjasama saat ini cacat HUKUM dan menyebabkan ketidak-absahan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK Koja.

Ÿ Perubahan Nomenklatur Jabatan Manajemen KSO TPK Koja. Berdasarkan Perjanjian Induk Kerjasama operasi,manajemen KSO dikepalai oleh General Manager yang membawahi 4(empat) deputy GM. Akan tetapi mulai 1 Februari 2007 General Manager dan deputy GM diubah menjadi Direktur Utama dan 5 Direktur. Perubahan ini tidak dapat dibenarkan secara hukum karena TPK Koja hanya sebuah badan bentukan dari Kitan Undang Undang Hukum Perdata sebagai persekutuan perdata biasa yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas. ApalagI setelah perubahan ini para pemangku jabatan kemudian menganalogikan dirinya seperti para direksi perusahaan perseroan terbatas di lingkungan BUMN dimana mereka berhak atas gaji besar dan berbagai benefit seperti mobil mewah,kompensasi sewa rumah, uang pengganti BBM,asuransi jabatan,dan tantiem yang diistilahkan dengan penghargaan atau insentif managemen. Secara keseluruhan masing-masing direksi TPK Koja dalam satu tahunnya bisa berpenghasilan hampir 1 MILYAR rupiah. Hal ini harus ditinjau ulang mengingat perubahan nomenklatur tersebut diindikasikan hanya untuk menguntungkan para pemangku jabatan termasuk beberapa direksi Pelindo II dalam posisinya sebagai Dewan Pengawas.

Dari 2 (dua) sisi tinjauan hukum di atas tampak jelas bahwa TPK Koja yang sudah beroperasi lebih dari sepuluh tahun sarat dengan permasalahan. Dan sudah saatnya karyawan TPK Koja melalui Serikat Pekerja TPK Koja harus menggugat kepada kedua pemilik yaitu PT(persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Hutchison Port Indonesia serta Pemerintah agar segera menuntaskan masalah tersebut dan menjadi kan TPK Koja sebagai perusahaan berbadan hukum

Sunday, August 1, 2010

7 Tuntutan Serikat Pekerja BUMN ke Pemerintah

JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu mengajukan tujuh tuntutan kepada pemerintah di antaranya menghapus sistem kerja kontrak (outsourcing). Untuk itu, mereka pun akan melakukan aksi demo pada Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei mendatang.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono, karena sampai saat ini masih belum berani menghapus sistem outsourcing. Selain itu, menurut mereka, pemerintah juga gagal meningkatkan jaminan berusaha bagi industri nasional.

"Rendahnya tingkat kesejahteraan buruh diakibatkan tingginya pungutan liar (pungli) juga menjadi tuntutan kami," tukas Ketua Presidium FSP BUMN Bersatu FX Arief Poyuono, dalam siaran persnya kepada okezone, di Jakarta, Rabu (28/4/2010).

Dari survei yang dilakukan FSP BUMN pada 2009, pungli menyerap kurang lebih 12 persen dari seluruh biaya produksi. Menurut mereka jika pungli berhasil diberantas, maka angka 12 persen tersebut dapat dialihkan untuk peningkatan kesejahteraan buruh BUMN.

Adapun lima tuntutan lainnya, yakni pemaksimalan dana Jamsostek, menghapus makelar kasus (markus) di lingkungan BUMN, meminta pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap TKI di luar negeri, menolak privatisasi BUMN, dan menolak pemberangusan serikat buruh (union Busting).

Menurut mereka, penggunaan dana Jamsostek dianggap belum maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan para buruh. Solusi yang ditawarkan FSP BUMN adalah memaksimalkan penggunaan dana Jamsostek dengan mengubah Jamsostek menjadi wali amanat yang dikelola oleh kaum buruh sendiri dan bukan bagian dari BUMN.

Oleh karena itu FSP BUMN Bersatu akan mengadakan aksi mogok nasional yang akan digelar di perusahaan-perusahaan BUMN yang biasanya memberikan layanan publik seperti pelabuhan, bandara, PT Pos Indonesia, Terminal Peti Kemas Koja, PT Pertamina Balongan, dan di beberapa tempat lainnya.

Aksi tersebut direncanakan digelar serentak di beberapa kota di Indonesia antara lain Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, Pontianak, Makassar, Batam.
(ade)

FSP BUMN Bersatu Gelar Aksi Mogok di TPK KOJA Pada Hari Buruh

Jakarta (ANTARA News) - Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara Bersatu akan menggelar aksi mogok pada peringatan Hari Buruh se-Dunia, Sabtu (1/5), kata Ketua Presidium Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN) Bersatu FX Arief Poyuono di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan, aksi mogok akan digelar secara serentak di berbagai kota seperti Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, Pontianak, Makassar, dan Batam.

"Aksi mogok nasional akan digelar di perusahaan BUMN yang biasanya tetap memberi layanan publik walau pada hari Sabtu," katanya.

Aksi antara lain akan dilakukan di pelabuhan, bandara, PT Pos Indonesia, JICT, PT Terminal Peti Kemas Koja, dan PT Pertamina Balongan.

Arief mengatakan, aksi mogok itu sebagai simbol desakan kepada pemerintah agar segera merumuskan program peningkatan kesejahteraan buruh.

Tuntutan yang diajukan antara lain mendesak pemerintah segera memaksimalkan penggunaan dana Jamsostek untuk peningkatan kesejahteraan kaum buruh.

"Pemerintah harus segera mengubah PT Jamsostek (Persero) yang selama ini mengelola dana Jamsostek menjadi wali amanat yang dikelola oleh kaum buruh sendiri, bukan merupakan BUMN," kata Arief.

Selain itu, mendesak pemerintah menjalankan perintah UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, menghapuskan `outsourching`, memberi perlindungan pada TKI, serta menghentikan privatisasi BUMN.
(S024/Z002/R009)

Bonus Miliaran Bos BNI Dipersoalkan

Bonus Miliaran Bos BNI Dipersoalkan

Jakarta, 14 Mei 2010 06:34
Keputusan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyetujui pemberian bonus atau tantiem kepada jajaran direksi BNI sebesar 2,29% dari laba bersih atau Rp 56,7 miliar, dipersoalkan.

"Keputusan itu sungguh patut disayangkan. Kami menuntut menteri BUMN membatalkan persetujuan itu," kata Ketua Presidium Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu, FX Arief Poyuono, di Jakarta, Kamis (13/5).

Menurutnya, keputusan persetujuan pemberian tantiem Rp 56,7 miliar itu patut disayangkan, karena diambil saat melambatnya perekonomian negara secara keseluruhan.

Dari segi jumlah, lanjut Arief, pemberian tantiem kepada direksi BNI itu juga terlalu besar mengingat BNI adalah perusahaan BUMN yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh negara.

"Seharusnya dana yang dipergunakan untuk tantiem para direksi tersebut disetorkan kepada pemegang saham yang salah satunya adalah pemerintah dalam bentuk deviden agar bisa dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat," kata Arief.

Direksi BNI, menurutnya, tidak layak mendapatkan dana tantiem yang demikian besar mengingat gaji dan fasilitas yang mereka terima sudah sangat besar, apalagi direksi juga mendapat hak untuk membeli saham dengan harga khusus.

FSP BUMN Bersatu juga menuntut Menteri Negara BUMN melakukan penghentian sementara pemberian fasilitas berlebih di luar gaji kepada direksi dan komisaris BUMN dan mengevaluasi secara serius dan menyeluruh kebijakan itu.

Menurut Arief, ada kemungkinan tidak dihentikannya fasilitas berlebihan di luar gaji terhadap direksi dan komisaris BUMN dilatarbelakangi fakta banyaknya pejabat di kementerian BUMN yang juga merangkap komisaris di BUMN. "Kemungkinan besar sudah terjadi konflik kepentingan," katanya. [EL, Ant]

Waw, Bonus Atau Tantiem Kepada Jajaran Direksi BNI Sebesar Rp 56,7 miliar

Posted by jarno - May 13, 2010

Keputusan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyetujui pemberian bonus atau tantiem kepada jajaran direksi BNI sebesar 2,29 persen dari laba bersih atau Rp56,7 miliar dipersoalkan. “Keputusan itu sungguh patut disayangkan. Kami menuntut menteri BUMN membatalkan persetujuan itu,” kata Ketua Presidium Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu FX Arief Poyuono di Jakarta, Kamis (13/5).

Dikatakannya, keputusan persetujuan pemberian tantiem Rp56,7 miliar itu patut disayangkan karena diambil di tengah melambatnya perekonomian negara secara keseluruhan. Dari segi jumlah, lanjutnya, pemberian tantiem kepada direksi BNI itu juga terlalu besar mengingat BNI adalah perusahaan BUMN yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh negara. “Seharusnya dana yang dipergunakan untuk tantiem para direksi tersebut disetorkan kepada pemegang saham yang salah satunya adalah pemerintah dalam bentuk deviden agar bisa dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat,” kata Arief.

Menurutnya, direksi BNI tidak layak mendapatkan dana tantiem yang demikian besar mengingat gaji dan fasilitas yang mereka terima sudah sangat besar. Apalagi direksi juga mendapat hak untuk membeli saham dengan harga khusus. FSP BUMN Bersatu juga menuntut menteri BUMN melakukan penghentian sementara pemberian fasilitas berlebih di luar gaji kepada direksi dan komisaris BUMN dan mengevaluasi secara serius dan menyeluruh kebijakan itu.

Menurut Arief, ada kemungkinan tidak dihentikannya fasilitas berlebihan di luar gaji terhadap direksi dan komisaris BUMN dilatarbelakangi fakta banyaknya pejabat di kementerian BUMN yang juga merangkap komisaris di BUMN. “Kemungkinan besar sudah terjadi konflik kepentingan,” katanya. Ref : Antara

Most people are coming to this page searching for : tantiem, gaji direktur BNI, Tantiem adalah, penerimaan pagawai juli 2010, tantiem bank umum, gaji pegawai bri 2010, gaji pegawai bni, gaji pegawai bank bri, gaji MT krakatau steel, gaji mdp btpn, Gaji komisaris bumn

Serikat Pekerja tolak usulan bonus direksi BNI Rp56,7 miliar

Jakarta – Kalangan serikat pekerja menentang keputusan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyetujui pemberian bonus kepada direksi BNI senilai 2,29% dari total laba bersih Rp 2,48 triliun atau sebesar Rp 56,7 miliar. Pasalnya, keputusan pemerintah tersebut diambil saat pertumbuhan ekonomi negara secara keseluruhan masih relatif lamban.

FSP BUMN juga berpendapat, pemberian bonus kepada direksi itu terlalu besar mengingat BNI merupakan perusahaan pelat merah yang sebagian besar sahamnya dimiliki negara.

“Kementerian BUMN tidak bercermin dari krisis finansial yang terjadi di tahun 2008 kemarin, dimana sebagian besar perusahaan multinasional meralat secara ekstrem kebijakan pemberian bonus secara berlebihan kepada para CEO-nya,” tandas Ketua Presidium FSP BUMN Bersatu, FX Arief Poyuono, kepada primaironline.com, di Jakarta, Kamis (13/5).

Menurutnya, saat krisis keuangan 2008 kemarin, sebagian kalangan menggugat gaya hidup mewah yang dipertontonkan para direksi perusahaan yang menerima dana talangan dari negara.

“Sampai sekarang belum ada evaluasi yang dilakukan Kementerian BUMN terkait pemberian fasilitas berlebihan di luar gaji kepada direksi maupun komisaris di perusahaan BUMN. Ada kemungkinan, tidak dihentikannya fasilitas berlebihan di luar gaji itu terus berlanjut karena dilatarbelakangi fakta bahwa banyak pejabat di lingkungan kementerian yang juga merangkap komisaris di BUMN sehingga ada aroma konflik kepentingan,” paparnya.

Seperti diberitakan, pemegang saham BNI telah merestui pemberian bonus atau tantiem terhadap direksi melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar Rabu (12/5). Kementerian memutuskan untuk tidak menaikkan gaji direksi BNI, namun digantikan dengan pemberian bonus dengan nominal yang cukup mencengangkan.

“Direksi BNI tidak layak mendapatkan dana tantiem yang luar biasa besar karena mereka telah memperoleh gaji serta fasilitas yang jumlahnya begitu besar. Para direksi itu juga telah mendapatkan hak kuntuk membeli saham dengan harga khusus melalui Management Stock Option Programe (MSOP),” tandas Arief.

Selain itu, direksi BNI yang ada sekarang terbukti tak mampu menunjukkan kinerja yang optimal sehingga tidak selayaknya menerima tantiem yang besar.

“Seharusnya dana yang dipergunakan untuk tantiem para direksi tersebut disetorkan ke pemegang saham yang salah satunya adalah pemerintah dalam bentuk pembagian dividen. Itu lebih bermanfaat karena bisa dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.

(new)

FSP BUMN Bersatu Protes Bonus Rp56,7 Miliar Direksi BNI

Kamis, 13 Mei 2010 19:46 WIB

Jakarta, (tvOne)

Keputusan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyetujui pemberian bonus atau tantiem kepada jajaran direksi BNI sebesar 2,29 persen dari laba bersih atau Rp56,7 miliar dipersoalkan. "Keputusan itu sungguh patut disayangkan. Kami menuntut menteri BUMN membatalkan persetujuan itu," kata Ketua Presidium Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu FX Arief Poyuono di Jakarta, Kamis (13/5).

Dikatakannya, keputusan persetujuan pemberian tantiem Rp56,7 miliar itu patut disayangkan karena diambil di tengah melambatnya perekonomian negara secara keseluruhan. Dari segi jumlah, lanjutnya, pemberian tantiem kepada direksi BNI itu juga terlalu besar mengingat BNI adalah perusahaan BUMN yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh negara. "Seharusnya dana yang dipergunakan untuk tantiem para direksi tersebut disetorkan kepada pemegang saham yang salah satunya adalah pemerintah dalam bentuk deviden agar bisa dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat," kata Arief.

Menurutnya, direksi BNI tidak layak mendapatkan dana tantiem yang demikian besar mengingat gaji dan fasilitas yang mereka terima sudah sangat besar. Apalagi direksi juga mendapat hak untuk membeli saham dengan harga khusus. FSP BUMN Bersatu juga menuntut menteri BUMN melakukan penghentian sementara pemberian fasilitas berlebih di luar gaji kepada direksi dan komisaris BUMN dan mengevaluasi secara serius dan menyeluruh kebijakan itu.

Menurut Arief, ada kemungkinan tidak dihentikannya fasilitas berlebihan di luar gaji terhadap direksi dan komisaris BUMN dilatarbelakangi fakta banyaknya pejabat di kementerian BUMN yang juga merangkap komisaris di BUMN. "Kemungkinan besar sudah terjadi konflik kepentingan," katanya. (Ant)

FSP BUMN BERSATU Persoalkan Bonus Rp56 Miliar Bagi Direksi BNI


Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyetujui pemberian bonus atau tantiem kepada jajaran direksi BNI senilai 2,29 persen dari laba bersih atau Rp56,7 miliar dipersoalkan Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN.

"Keputusan itu sungguh patut disayangkan. Kami menuntut menteri BUMN membatalkan persetujuan itu," kata Ketua Presidium FSP BUMN Bersatu, FX Arief Poyuono, di Jakarta, Kamis.

Dikatakannya, keputusan persetujuan pemberian tantiem Rp56,7 miliar itu patut disayangkan karena diambil di tengah melambatnya perekonomian negara secara keseluruhan.

Dari segi jumlah, lanjutnya, pemberian tantiem kepada direksi BNI itu juga terlalu besar mengingat BNI adalah perusahaan BUMN yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh negara.

"Seharusnya dana yang dipergunakan untuk tantiem para direksi tersebut disetorkan kepada pemegang saham yang salah satunya adalah pemerintah dalam bentuk deviden agar bisa dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat," kata Arief.

Menurut dia, direksi BNI tidak layak mendapatkan dana tantiem yang demikian besar mengingat gaji dan fasilitas yang mereka terima sudah sangat besar, apalagi direksi juga mendapat hak untuk membeli saham dengan harga khusus.

FSP BUMN Bersatu juga menuntut menteri BUMN melakukan penghentian sementara pemberian fasilitas berlebih di luar gaji kepada direksi dan komisaris BUMN dan mengevaluasi secara serius dan menyeluruh kebijakan itu.

Menurut Arief, ada kemungkinan tidak dihentikannya fasilitas berlebihan di luar gaji terhadap direksi dan komisaris BUMN dilatarbelakangi fakta banyaknya pejabat di kementerian BUMN yang juga merangkap komisaris di BUMN.

"Kemungkinan besar sudah terjadi konflik kepentingan," katanya.
(S024/O001/P003)

COPYRIGHT © 2010